Madzhab Cinta (Bagian 1); Berpikir Positif

Jika engkau tidak bisa berprasangka baik kepada-Nya melalui keindahan sifat-sifat-Nya, maka lihatlah Dia melalui interaksi-Nya denganmu. Bukankah Dia selalu menganugerahkan kebaikan kepadamu? Bukankah Dia tidak memberikan kepadamu selain kenikmatan yang tak terhingga?

Ibnu Athaillah Al-Sakandari

إن الطريقة التي نرى فيها الله ما هي إلا انعكاس للطريقة التي نرى فيها أنفسنا، فإن لم يكن الله يجلب في عقولنا سوى الخوف والملامة فهذا يعني أن قدرا كبيرا من الخوف والملامة يتدفق في نفوسنا، أما إذا رأينا الله مفعما بالمحبة والرحمة فإننا نكون كذالك

“Cara kita melihat Tuhan merefleksikan kondisi keperibadian kita. Jika Tuhan dalam pandangan kita hanya memancarkan ketakutan dan kecaman, itu berarti keperibadian kita sebagian besar hanya memancarkakn ketakutan dan kecaman. Adapun jika kita melihat Tuhan sebagai sumber cinta dan kasih sayang, itu mengindikasikah bahwa keperibadian kita pun demikian.”

Maulana Rumi dalam sebagian aforismenya berkata, “Di antara banyak jalan menuju Tuhan, aku memilih jalan CINTA”. Dalam aforisme di atas, Sang guru, mentari yang menerangi jalan cinta Maulana, Syams Al-Tabrizi membukakan pintu pertama untuk menapaki jalan cinta itu. Pintu pertama ini adalah membangun keperibadian yang baik yang didasari dengan berpikir positif, positif thinking.

Cara berpikir kita merefleksikan siapa kita. Keduanya berkelindan; yang satu mencerminkan yang lain. Pribadi yang baik akan selalu memancarkan kebaikan. Begitu pun sebaliknya, apa yang terpancar, menyembul dari diri kita mencerminkan baik dan buruknya keperibadian kita. Dalam pribahasa Arab seringkali dikatakan, Al-wiâ’ yandhakhu bi mâ fîhiSuatu wadah hanya memercikkan apa yang ada di dalamnya. Dalam salah satu ayat suci-Nya, Allah berfirman, yang maknanya,

“Tanah yang baik, tanamannya tumbuh subur dan hidup dengan izin Allah. Sedangkan tanah yang tidak baik hanya menghasilkan tanaman yang tidak berguna, bahkan merugikan pemiliknya.” (QS. Al-A’raf: 58)

Dalam kaidah cinta yang pertama ini, Sang Guru, Syams mengajarkan bahwa keperibadian yang baik itu dimulai dari cara kita melihat, merasakan, berprasangka dan berpikir. Pola pikir dan prasangka kita akan memengaruhi relasi horizontal; relasi sosial, dan relasi vertikal, hubungan dengan Tuhan, kita.

Relasi sosial yang tidak didasari dengan prasangka dan pikiran positif hanya akan menimbullkan malapetaka, saling mencurigai, menghujani dengan caci-maki, menghujat, saling tuduh, menghakimi dan seabrek perilaku buruk lainnya. Masyarakat yang seperti ini sangatlah tidak layak menjadi khalifah Allah di muka bumi ini. Sebaliknya, relasi sosial yang dibangun atas dasar prasangka dan pikiran yang baik akan melahirkan masyarakat yang saling mempercayai, saling menghargai, menghormati, menyayangi dan pancaran kebaikan lainnya.

Kaidah cinta yang disuguhkan oleh Sang Guru dalam aforisme di sini, secara intrinsik mengindikasikan bahwa relasi sosial yang baik adalah pancaran dari relasi vertikal yang baik. Hubungan baik kita dengan Tuhan seharusnya memancarkan hubungan baik kita antar sesama manusia. Hubungan harmonis kita dengan Tuhan ini dimulai dari prasangka dan pikiran positif kita mengenai diri-Nya.

Dalam salah satu Hadis kudsinya yang terkenal, Nabi Muhammad Saw. bersabda bahwa Allah Swt. berkata, “Aku bergantung kepada prasangka hamba-Ku kepada-Ku.”

Baca Juga – Madzhab Cinta (Bagian 2) Jalan Menuju Hakikat

Dengan kaidah pertama mazhab cinta ini, Sang Guru mengisyaratkan bahwa seorang pujangga, orang yang dimabuk cinta, akan selalu berprasangka baik kepada kekasih tercintanya, dalam konteks ini adalah Tuhan, Sang Maha Kasih. Seseorang yang berpikir buruk terhadap kekasihnya berarti ia bukan cinta yang sebenarnya.

Ibnu Athaillah Al-Sakandari dalam mutiara hikmahnya yang indah mengajarkan, “Jika engkau tidak bisa berprasngka baik kepada-Nya melalui keindahan sifat-sifat-Nya, meka lihatlah Dia melalui interaksi-Nya denganmu. Bukankah Dia selalu menganugerahkan kebaikan kepadamu? Bukankah Dia tidak memberikan kepadamu selain kenikmatan yang tak terhingga?”. Sangat aneh rasanya jika kita beprasangka buruk terhadap Zat yang tergambar dalam aforisme guru para sufi ini.

Dalam kaidah ini juga Sang Guru menjelaskan bahwa seorang pujangga akan meleburkan diri dengan sifat-sifat kekasih tercintanya. Jika dia melihat Tuhan sebagai yang Maha Kasih, maka dirinya akan menjadi penyayang dan pengasih. Jika dia melihat Tuhannya sebagai Zat Yang Maha cinta, maka cintalah yang terpancar dari dalam dirinya. Begitu pun jika kita melihat Tuhan sebagai Zat Yang Pemarah, Pembenci, Pendendam maka hanya sifat-sifat buruk yang menyembul dari diri kita.

Pikiran positif terhadap Tuhan akan melahirkan pikiran positif antar sesama manusia. Orang yang berjalan dalam mazhab cinta ini tidak akan mudah mencurigai dan menghakimi orang lain. Bahkan dia akan memilih untuk tidak menghakimi sama sekali. Sebab manusia sama sekali tidak mengetahui kebenaran seutuhnya. Hanya Tuhan yang mengetahui isi hati segenap hamban-Nya. Sehingga hanya Dialah Hakim satu-satunya.

Sang Guru melalui pesan cintanya menyampaikan,

Janganlah engkau menghakimi cara orang lain berinteraksi dengan Tuhannya. Sebab setiap orang memiliki jalan dan salatnya masing-masing. Sungguh Allah tidak melihat kita dari apa yang kita ucapkan, melainkan Dia melihat lubuk hati kita yang terdalam. Bukan bentuk ritual dan simbol tertentu yang membuat kita menjadi hamba yang beriman, melainkan sebersih atau sekotor apa hati kita”.

Leave a reply

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_imgspot_img